Minggu, 26 Juni 2016

Politik dan Sejarah

Oleh: M Anis Matta

 POLITIK bisa punya banyak makna dan kebanyakan dari pemaknaan itu bertalian dengan kekuasaan. Tidak salah, tetapi saya ingin membahas politik dari sudut pandang yang berbeda. Saya ingin memahami politik sebagai  ”industri” pemikiran.Sebagai bursa pemikiran, politik bertugas memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Politik terancam gagal jika masyarakatnya mengalami rasa kehilangan arah yang dituju (sense of direction). Hilangnya sense of direction tersebut tampak dari suasana hati publik (public mood) yang diwarnai kemarahan dan kecemasan kolektif, menggantikan kepercayaan dan harapan kolektif mereka.


Agar dapat menjalankan tugas memberi arah itu, politik—dalam arti kehidupan politik secara keseluruhan—harus mampu memahami, merekam, dan menangkap perubahan fundamental yang terjadi di tengah masyarakat serta memberi arah yang benar bagi perubahan itu.


Jika kita melihat rentang sejarah, dinamika perubahan sosial merupakan interaksi empat elemen: manusia, ide, ruang, dan waktu. Manusia adalah pusat perubahan karena merupakan pelaku atau aktor di mana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukannya. Ide jadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya.


Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respons terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena merespons tantangan di sekelilingnya. Hasil dari respons baru tersebut selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respons-respons baru. Begitu seterusnya.


Dalam perspektif itulah, politik bertemu dengan sejarah. Sejarah adalah cerita tentang manusia di tengah seluruh ruangnya dalam rentang waktu yang panjang. Sejarah adalah cerita tentang tiga orang: orang yang sudah meninggal, orang yang masih hidup, dan orang yang akan lahir. Jika politik ingin memahami drama perubahan sosial secara komprehensif, politik harus memahami cerita tentang tiga orang itu. Politik menjadi dangkal jika ia hanya memahami cerita tentang satu orang, yaitu orang yang masih hidup. Itu adalah jebakan kekinian, di mana kita tampak seperti telah menyelesaikan masalah hari ini ketika sebenarnya yang kita lakukan justru memindahkan beban masalah itu kepada generasi yang akan lahir esok hari.


Berpijak pada sejarahJika sejarah adalah cerita tentang hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.


Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari. Tugas politik adalah memberi arah bagi kehidupan masyarakat agar mereka merasa memiliki satu arah yang dituju, memiliki orientasi. Rasa memiliki arah ini merupakan sumber kepercayaan diri dan harapan yang kuat bagi masa depan.


Sebaliknya, chaos dan anomi membuat orang merasa tersesat dan limbung. Untuk dapat menemukan arah itulah, kehidupan politik harus berpijak pada sejarah. Berpijak pada sejarah tidak berarti melulu melihat ke belakang atau memuja kejayaan masa lalu; berpijak pada sejarah harus dimaknai sebagai keyakinan merancang masa depan.


Muatan sejarah menghindarkan politik dari kedangkalan dan membawanya pada kedalaman kesadaran. Dengan memahami sejarah, politik akan bergeser dari pandangan sempit sekadar berebut kekuasaan menuju keluasan cakrawala pemikiran, dari sekadar perdebatan mengurusi kenegaraan menjadi perbincangan arsitektur peradaban.


Pertanyaan yang segera menghadang kita adalah apa yang akan terjadi pada Pemilu 2014? Apakah pesta demokrasi tahun depan itu sekadar menjadi ajang peralihan kekuasaan secara damai, sesuatu yang business as usual di dalam demokrasi?


Pemilu 2014 adalah momentum peralihan sejarah yang didorong oleh perubahan struktur demografis Indonesia. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah mencapai sekitar 60 persen dari populasi. Bukan sekadar mendominasi dari segi jumlah, kelompok ini bercirikan pendidikan yang tinggi, kesejahteraan yang membaik, dan terkoneksi dengan dunia luar melalui internet. Kita juga menyaksikan lahirnya native democracy, yaitu mereka yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2014 adalah mereka yang lahir pada 1997. Mereka tidak merasakan perbedaan suasana otoriter pada masa Orde Baru dengan kebebasan pada masa kini. Bagi mereka, demokrasi dan kebebasan adalah sesuatu yang terberi (given) dan bukan hasil perjuangan berdarah-darah.


Mayoritas baru ini memerlukan jawaban baru dari partai politik. Ada hal-hal yang akan dianggap usang. Mereka ingin melihat visi dan agenda baru. Untuk menjawab tantangan itu, politik harus bisa mendefinisikan di mana kita berada sebagai sebuah bangsa dan sebuah entitas peradaban sekarang ini. Sejumlah gelombang sejarah telah kita lalui sebagai negara-bangsa dan banyak pelajaran penting yang dapat kita sarikan. Pertanyaan mendasar ini menghindarkan kita dari jebakan kedangkalan politik. Sejarah adalah  kompas bagi politik dalam mengarungi masa yang akan datang.


M Anis Matta, Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Senin, 14 Maret 2016

POLITIK DALAM ISLAM, SUATU KEHARUSAN oleh : Shofia M. Abdullah


" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran : 110).
Allah SWT telah menetapkan bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik diantara manusia. Status ini diberikan kepada kaum mulimin agar mereka menjadi pemimpin dan penuntun bagi umat-umat lain. Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an menafsirkan bahwa yang layak menjadi pemimpin umat manusia hanyalah "orang-orang yang berpredikat terbaik". Karena ingin meraih predikat umat terbaik itulah, umat Islam terdahulu tidak pernah berhenti ataupun lemah semangatnya dalam perjuangan menyebarkan risalah Islam ke seluruh permukaan bumi. Mereka yakin bahwa metode untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanyalah dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Islam dijadikan sebagai pola kehidupan yang menyeluruh. Umat Islam percaya dan yakin bahwa hanya Islam yang mampu memecahkan seluruh urusan manusia secara sempurna, menyeluruh, praktis dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Namun saat ini umat Islam berada dalam kondisi dan situasi yang lemah serta paling rendah dalam memahami Islam. Kondisi ini telah terbukti menyebabkan segala bentuk pemikiran-pemikiran yang merusak menyusup kedalam tubuh umat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gangguan dan keresahan. Umat Islam cenderung mudah mengabaikan hukum-hukum Islam. Akhirnya kehidupan mereka merosot sampai ke taraf rendah. Dalam kondisi ini, umat Islam tidak memiliki peranan lagi dalam percaturan politik internasional.
Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat dan membangkitkannya kembali menempati kedudukan mulia, selain dari mengembalikan umat pada sifat yang menjadikannya umat terbaik, yakni beriman kepada Allah SWT, melaksanakan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar), sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat diatas.
Umat yang beriman kepada Allah SWT, konsekuensinya adalah menjadi umat yang tunduk hanya kepada Allah SWT. Yakni tunduk kepada ketentuan-Nya. Demikian pula umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti umat yang menegakkan tolok ukur segala sesuatu berdasarkan ridlo dan murka Allah atau baik dan buruk menurut Allah. Hal ini berarti kedudukan mulia sebagai umat terbaik akan bisa diraih kembali oleh umat Islam, bila mereka mendasarkan pengaturan segala urusannya, bahkan urusan umat manusia (lainnya) diatas perintah dan larangan Allah SWT, yang termaktub di dalam kitabbullah dan sunah Rasul-Nya.
Berpolitik Hukumnya Fardlu
Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat manapun. Ia merupakan upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Kalau kita memandang seseorang dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu yang hidup dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai seorang politikus. Di dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya sendiri, urusan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun negara yang memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah mereka) bisa disebut sebagai politikus. Kita bisa mengenali hal ini dari tabiat aktivitasnya, kehidupan yang mereka hadapi serta tanggung jawabnya.
Islam sebagai agama yang juga dianut oleh mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi ibadah mahdloh individu saja.
Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’ hukumnya fardlu (wajib)sebagaimana Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".
Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT:
"….maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (Al-Maidah : 48)
"…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". (Al-Maidah :44)
Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44,45, 47 dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah, yakni hukum syari’at Islam.
Terlaksananya urusan umat sesuai dengan hukum syari’at Islam tidak hanya meliputi urusan dalam negerinya saja, melainkan juga urusan luar negeri. Hal ini karena kaum muslimin juga melakukan interaksi dengan negara-negara lain, yang dalam setiap pelaksanaannya harus selalu terikat dengan syari’at Islam.
Bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat ini bisa berarti mengurusi kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, mengingkari kejahatan dan kezholiman penguasa, peduli terhadap kepentingan dan persoalan umat, menasehati pemimpin yang lalim, mendongkrak otoritas penguasa yang melanggar syari’at Islam, serta membeberkan makar-makar jahat negara-negara musuh serta hal-hal lain yang berkenaan dengan urusan umat.
Berpolitik Untuk Urusan Dalam dan Luar Negeri
Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.
Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?
Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.
Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan negara-negara lain.
Bila kita telaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib. Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib, sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.
Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"
lafazh (nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.
Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
" Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".
Dari Abi Umamah, ia berkata :
" Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)

Menasehati penguasa yang lalim memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.